Rematik Menahun, Fisik Terancam

REMATIK dapat menyerang seluruh tubuh dan menimbulkan komplikasi, bahkan kecacatan. Terapi latihan membantu memperbaiki fungsi sendi dan mempertahankan kekuatan otot.

Rematik amat beragam jenisnya. Secara umum, penyakit tersebut menyerang sendi dan struktur atau jaringan penunjang di sekitarnya. Bagian tubuh yang diserang biasanya persendian di jari, lutut, pinggul, dan tulang punggung. Gejala utamanya adalah nyeri dan kaku sendi, serta keterbatasan gerak.

Sebagai penanda untuk mawas dini, gejala yang mudah diamati antara lain nyeri atau kaku pada sendi atau tulang belakang. Juga kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari seperti berpakaian, berjalan, naik tangga, bangun dari tempat tidur, hingga saat mandi di bath-tub atau membuka-tutup pintu mobil.

Penelitian terbaru dari Zeng QY et al 2008 melaporkan, prevalensi nyeri rematik di Indonesia mencapai 23,6 persen-31,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa rasa nyeri akibat rematik cukup mengganggu aktivitas masyarakat, terutama warga perkotaan dengan aktivitas padat seperti mengendarai kendaraan di tengah macet, duduk berjam-jam tanpa aktivitas gerak tubuh yang berarti, kurangnya porsi olahraga, dan bertambahnya usia.

Salah satu penyakit rematik kronis yang kerap dijumpai adalah osteoarthritis atau pengapuran sendi. Tulang rawan jadi menipis disertai tumbuhnya tulang baru di atas tulang, dengan bentuk mirip taji ayam. Jenis ini dikategorikan penyakit sendi degeneratif. "Penyakit ini berhubungan dengan aktivitas sehari-hari," kata konsultan rematologi FKUI, Bambang Setyohadi.

Tulang yang mengalami pengapuran acap kali tidak terasa sakit. Ketika sudah rapuh dan terjadi patah tulang, barulah timbul keluhan sakit. Itulah sebabnya, Bambang mengingatkan, penyakit yang kerap dianggap sepele itu bisa dikategorikan silent disease (menyerang perlahan dan diam-diam). Bahkan, keluhan rematik yang dibiarkan menahun dapat mengakibatkan kecacatan, ketidakmampuan, penurunan kualitas hidup, dan meningkatkan beban ekonomi penderita dan keluarganya.

Sejumlah faktor risiko berperan dalam kejadian rematik. Di antaranya riwayat keluarga, usia, jenis kelamin (wanita lebih rentan dibandingkan pria), aktivitas berlebih, bobot badan berlebih, serta kelemahan otot.

Nah, jika telanjur terkena rematik, pengobatan dilakukan melalui banyak cara, baik yang bersifat farmakologis (obat-obatan), nonfarmakologis (edukasi dan olahraga), maupun tindakan bedah. Tujuannya meningkatkan kualitas hidup penderita dan memperbaiki kemampuan fungsional mandiri seperti aktivitas makan, minum, berpakaian. Juga, mencegah dan mengurangi kerusakan sendi.

Edukasi gaya hidup sehat juga penting dilakukan. Misalkan pembatasan aktivitas fisik berlebih, pengurangan beratbadan, cara duduk yang ergonomis, serta olahraga teratur. Belum lama ini, PT Pfizer Indonesia juga meluncurkan Senam Rematik yang dapat membantu mengurangi risiko timbulnya rematik, sekaligus sebagai terapi tambahan terhadap pasien rematik dalam fase tenang.

Penderita rematik biasanya mengalami kondisi lemah otot sehingga diperlukan latihan untuk penguatan dan ketahanan otot. Latihan teratur dan benar, membuat penderita rematik terbebas dari gejala kaku dan nyeri sendi, mengurangi sendi bengkak, hingga meningkatkan kepadatan tulang.

Namun, spesialis rehabilitasi medik dari FKUI/RSCM, Siti Annisa Nuhonni, menegaskan bahwa senam rematik hanyalah salah satu modalitas untuk mencegah dan memberikan terapi terhadap gejala rematik atau gejala osteoarthritis.
(sindo//tty)

0 komentar:

Posting Komentar